Sekilas Raja Ampat adalah surga yang memikat, namun apakah kita tahu bahwa orang lokal sebagai pemilik lahan hanya akan mendapatkan uang sewa sebagaimana disepakati di muka, tanpa diberikan kesempatan untuk terlibat mengelola dan ikut menikmati keuntungan ketika usahanya laris?
Seorang teman pernah bilang, kita bisa menemukan bentang alam terindah justru di tempat-tempat termiskin di dunia. Barangkali ungkapan itu tepat untuk menggambarkan realitas yang saya temui di Raja Ampat, Papua Barat.
Mengenai keindahannya, saya rasa Raja Ampat tak tergugat. Pesona alamnya termasyhur sampai ke mancanegara. Sayangnya, hanya sedikit orang lokal yang memiliki kapasitas untuk mengelola potensi yang ada untuk jadi tujuan wisata.
Ceruk ini kemudian diisi oleh pemain asing yang menyewa tanah yang ada untuk dijadikan resor atau jenis penginapan lainnya. Kondisi ini terlihat tak adil di mata saya. pada contoh tadi, dari miliaran rupiah yang masuk ke pundi-pundi si bule pengelola, maka pemilik tanah hanya mendapat RP 50 juta sebagai bayaran sewa.
Sedangkan bagi kebanyakan wisatawan domestik, berlibur ke Raja Ampat seperti utopia yang tak terjangkau karena mahalnya. Padahal, biaya transportasi ke Indonesia Timur sendiri sudah tinggi, berklai lipat lebih mahal dari tiket menyeberang ke negara Jiran.
Banyaknya turis yang datang ke Raja Ampat juga memberikan dampak di sisi lingkungan. Seringkali kegiatan pariwisata dilakukan dengan sembrono, misalnya membuang sampah sembarangan atau membiarkan turis menginjak karang yang jadi habitat hewan. Bila alamnya sudah terlanjur rusak, entah apa yang akan jadi alasan untuk menarik wisatawan datang ke Raja Ampat.
Semua ironi tadi membuat saya memantapkan diri untuk membuat penginapan berkonsep low budget dan eco-friendly dengan memberdayakan penduduk setempat bernama HamuEco Lodge.
Saya menggandeng Najib, penduduk asli Pulau Waigeo yang sudah saya anggap seperti kakak sendiri. Di tanah milik keluarganya yang terletak di Pantai Saleo, saya membangun HamuEco Lodge. Sejauh ini, usaha kami berjalan lancar dan sudah berjalan tiga tahun.
Kendala terbesar dalam pengelolaan HamuEco adalahtransportasi. Fasilitas jalan belum menghubungkan satu lokasi ke lokasi lain dengan efektif. Untuk membeli suplai makanan dari pasar terdekat di kota yang terletak di sisi lain pulau ini, staf kami harus berjalan kaki selama 20 menit dan disambung naik ojek selama 1 jam setiap harinya. Padahal, jika menggunakan perahu, kota kecamatan dapat dijangkau dalam 10 menit saja.
Saya ingin membeli sebuah perahu untuk kebutuhan operasional kami. Dengan perahu ini, biaya dan waktu yang perlu kami keluarkan akan dapat ditekan dengan signifikan. Adanya perahu ini pun akan menjadi fasilitas yang menarik bagi wisatawan karena dapat memudahkan mereka yang ingin melakukan tur keliling pulau-pulau kecil (island hopping) yang jadi ciri khas Raja Ampat.
Kami membutuhkan kontribusi dari sesama masyarakat Indonesia yang cinta akan cerita di balik perjalanan dan peduli dengan kesejahteraan saudara-saudara kita di Raja Ampat. Luangkan waktu dan sedikit uangmu untuk memberi pinjaman di link ini : http://bit.ly/hamueco dan semoga kelak kita semua bisa bertemu di Raja Ampat untuk saling bertukar sapa.
Salam hangat,
Hasna.