sumber gambar : pif.org.nz

Berapa akumulasi dana sosial–termasuk sedekah, zakat, derma, donasi dan hibah–dari semua orang Indonesia? Jika asumsinya sebesar 1% dari PDB, maka potensi di tahun 2014 besarnya Rp 105,4 triliun. Angka ini adalah nilai yang fantastis, mengingat tahun lalu anggaran sebesar Rp 72 triliun telah mampu menggerakkan ibukota negara segigantis DKI Jakarta.

Asumsi 1% bukanlah perkiraan yang berlebihan, mengingat di Amerika Serikat sendiri rasionya 1,7% dan Inggris 0,73%. Dari penelitian Charities Aid Foundation, perilaku berdonasi warga Indonesia lebih tinggi dari Inggris dan tak jauh beda dari penduduk Amerika Serikat.

Saat ini, lebih dari 65 ribu LSM dan 10 ribu komunitas menggantungkan hidupnya kepada donasi dan hibah. Jumlah ini belum ditambah 45-an yayasan baru yang tumbuh setiap harinya. Merekalah yang berebutan ‘kue’ donasi dan hibah dari dana sosial yang potensinya Rp 105 triliun tadi.

Padahal, riset Bloomerang menunjukkan, tren masyarakat untuk menyumbang terus turun setiap tahun. Waktu 7 tahun lalu, setiap 5 dari 10 orang di dunia adalah orang yang rutin berdonasi. Saat ini jumlahnya berkurang menjadi 4 dari 10 orang. Berkurangnya orang juga diikuti dengan berkurangnya persentase uang yang terkumpul.

Bila kecenderungan ini terus berlanjut, ada berapa banyak lembaga, yayasan atau individu dengan niat baik yang tak mampu meneruskan karyanya untuk peradaban? Mereka butuh sumber pendanaan yang mandiri agar bisa bertahan hidup.

Sebagian yayasan dan komunitas nonprofit mulai menggeser sumber pembiayaannya jadi berbasis usaha sosial. Misalnya, dengan membuka unit bisnis ataupun menarik bayaran dari usaha yang mereka lakukan. Lalu, mereka memutar pendapatan yang diterima untuk membiayai upaya mencapai niat baik yang sedang mereka perjuangkan.

Misalnya yang dilakukan Yayasan Hoshizora di Yogyakarta dengan unit bisnisnya berupa agen perjalanan dan sentra kuliner. Lembaga sosial yang menyalurkan beasiswa bagi ribuan siswa kurang mampu ini mulai membuka unit bisnis sejak 2011.

Sayangnya, mayoritas unit bisnis atau usaha sosial seperti ini tak punya akses pemodalan yang memadai. Entah mereka kurang seksi di mata investor atau justru tak cukup ‘bankable’ bagi perbankan.

Solusinya adalah menyediakan pemodalan tanpa syarat yang menyulitkan, khusus bagi usaha sosial semacam ini. Pinjaman ini bisa berasal dari satu pihak ataupun keroyokan (crowdlending).

Di sisi peminjam, mereka mendapatkan akses modal yang dapat menggerakkan usahanya sehingga bisa memiliki sumber keuangan yang mandiri. Sedangkan di sisi pemodal, mereka bisa berinvestasi untuk perubahan baik yang mereka percayai. Setelah pinjaman dikembalikan, mereka bisa menggunakan uang itu untuk memodali usaha sosial lain sehingga kebaikan ini terus bergulir.

Oleh : Shally Pristine

Show Comments (0)
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *