Du'Anyam Team Photo 2014 copy

 

Ketika Azalea Ayuningtyas sudah mendapatkan gelar master dari Program Kesehatan Masyarakat di Harvard University, ada pertanyaan yang masih mengganjal baginya. Ayu, begitu dia biasa dipanggil, penasaran tentang model terbaik yang bisa memandirikan masyarakat di daerah sasaran, sehingga mereka nggak bergantung kepada donasi atau bantuan habis pakai. Ayu yang pernah terlibat di banyak proyek peningkatan nutrisi dan sanitasi di Indonesia, India, dan Kamboja ini kemudian tertarik dengan konsep wirausaha sosial.

Menurut Ayu, dengan kewirausahaan sosial dia bisa melihat langsung dampak dari yang dilakukan di masyarakat. Hal ini berbeda dengan pengalamannya saat melakukan penelitian akedemik. Selain itu, karena nggak tergantung donasi, kegiatan yang dilakukan pun bisa lebih berkelanjutan. “Saya baru benar-benar menemukan passion saya setelah mempelajari tentang konsep kewirausahaan sosial,” kata perempuan 25 tahun ini.

Setelah dia lulus, Ayu sempat bekerja selama 1 tahun di sebuah perusahaan konsultasi di Boston, Amerika Serikat sambil mematangkan ide wirausaha sosial yang ia bayangkan.

Adalah Hanna Keraf, sahabat Ayu sewaktu SMA yang berperan besar dalam meramu bentuk wirausaha sosial yang saat ini mereka jalankan. Hanna yang berkuliah di Ritsumeikan University, Jepang punya perhatian besar terhadap masalah sosial yang terjadi di tanah leluhurnya, Nusa Tenggara Timur (NTT). Selepas lulus kuliah, Hanna pun langsung bergabung dengan salah satu lembaga nonprofit di NTT, khususnya bidang pemberdayaan masyarakat.

Masalah kesejahteraan ibu dan anak jadi fokus mereka. Karena nggak ada sumber penghasilan yang cukup untuk membeli makanan bergizi, ini merembet ke masalah lain seperti kekurangan nutrisi, defisiensi energi, lalu puncaknya kepada kematian ibu dan bayi. Urusan kematian ibu saat melahirkan dan bayi yang berumur kurang dari 1 bulan ini memang mengkhawatirkan. NTT jadi provinsi dengan tingkat paling tinggi se-Indonesia untuk dua masalah tadi. Klik di sini untuk tahu fakta kesehatan ibu dan anak di NTT yang ingin selesaikan Ayu dkk.

Ayu dan Hanna mengajak Melia Winata, sahabat ketika SMA juga, untuk menggodok ide ini. Melia yang sebelumnya merantau kuliah ke University of Melbourne, Australia, ingin memberikan kontribusi bagi masyarakat, di sela-sela pekerjaannya di bidang properti di Jakarta. Lalu terbayanglah sebuah model wirausaha sosial yang mampu memberikan alternatif penghasilan bagi para ibu di NTT dengan keahlian yang sudah mereka miliki, sekaligus mengedukasi para ibu untuk membiasakan diri mengakses fasilitas kesehatan.

Di akhir tahun 2014, Ayu, Melia, dan Hanna sepakat untuk serius mengeksekusi ide merintis Du’Anyam dibantu Victoria, Melissa, dan Dei yang dikenal Ayu saat kuliah di Amerika Serikat.

Du’Anyam berfokus meningkatkan kemampuan finansial para ibu usia hamil di NTT agar dapat mengakses fasilitas kesehatan serta gaya hidup yang lebih sehat terutama pada masa kehamilan. Dengan mendayagunakan kearifan lokal yang telah dimilki masyarakat, yaitu anyaman daun lontar, Du’Anyam mendampingi 30-40 ibu di Desa Duntana Lewoingu, Flores, sampai hari ini.

Ketiganya membagi tugas. Hanna berada di Flores untuk mengelola pelaksanaan di lapangan, Melia bertanggung jawab untuk urusan marketing di Jakarta, dan Ayu sebagai CEO membagi waktu di antara Flores dan Jakarta untuk memastikan semua berjalan lancar.

Totalitas mereka mendapat pengakuan dari banyak pihak. Di usia yang belum genap setahun, Du’Anyam menjadi pemenang kompetisi bisnis sosial yang diadakan Massachusetts Institute of Technology (MIT) di Amerika Serikat dan dari UnLtd Indonesia untuk kategori Discoverer.

Hingga saat ini, Ayu bersyukur dampak sosial yang mereka bayangkan saat merancang Du’Anyam mulai terwujud. Kelompok penganyam sudah bergulir mandiri, para ibu mulai terbiasa mengakses layanan kesehatan, bahkan ada sosok Ibu Heni, penganyam senior yang sudah bisa menjadi fasilitator lapangan bagi rekan-rekan yang lain. Tujuan Ayu, Melia, dan Hanna saat memutuskan kembali ke Indonesia, yaitu berbakti untuk ibu pertiwi, perlahan sudah kelihatan hasilnya.

Untuk meningkatkan mobilitas tim di lapangan, Du’Anyam butuh dukungan modal yang akan digunakan untuk membeli sepeda motor seharga Rp 17 juta. Kamu pun bisa ikut bergandengan tangan dan berbakti untuk ibu pertiwi bersama Du’Anyam dengan memberikan pinjaman modal mulai dari Rp 50 ribu. Klik link ini untuk tahu caranya!

(shally)

Show Comments (1)
1 Comment
  • […] Mari berkenalan dengan para pegiat Du’Anyam. Ayu mengenyam pendidikan S2 di Fakultas Kesehatan Masyarakat di Harvard University. Hanna Keraf, berkuliah di Ritsumeikan Universitty, Jepang. Ada juga Melia Winata yang lulus dari University of Melburne, Australia. Latar pendidikan mereka berbeda-beda, kemampuan mereka pun berbeda-beda. Satu yang menyatukan mereka, keinginan untuk melakukan perubahan berarti bagi negeri sendiri. Wawasan mereka mengglobal, hati mereka tetap untuk negeri. […]

    Reply
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *