Suhu politik menjelang Pilpres 2019 turut berpengaruh terhadap stabilitas ekonomi dalam negeri. Apa yang dapat dilakukan untuk mengatasinya?
Tahun 2019 mendatang merupakan tahun politik bagi Indonesia. Salah satu perhelatan besar yang akan digelar adalah pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Indonesia periode 2019–2014. Pada momen tersebut, rakyat kembali memiliki kesempatan untuk menentukan pemimpin secara langsung melalui ajang Pemilu.
Ada 2 pasangan capres (calon presiden) dan cawapres (calon wakil presiden) yang akan bertarung. Pertama, capres petahana, Joko Widodo bersama cawapres Ma’ruf Amin. Bagi Joko Widodo, ini adalah pertarungan untuk menjabat Presiden pada periode kedua. Kedua, capres Prabowo Subianto bersama cawapres Sandiaga Uno, yang sebelumnya menjabat sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta.
Panasnya Suhu Politik
Bukan rahasia lagi jika situasi menjelang Pemilu di Indonesia selalu ramai. Suhu politik sesekali memanas karena manuver yang dilancarkan oleh kubu berseberangan. Hal-hal semacam ini tidak perlu terlalu dikhawatirkan jika masih dalam koridor hukum yang berlaku. Ini justru merupakan salah satu bentuk kebebasan di alam demokrasi.
Akan tetapi, tak dapat diabaikan jika panasnya suhu politik turut memengaruhi berbagai aspek, termasuk iklim investasi di Indonesia. Dikutip dari Kontan, Enny Sri Hartati, Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), menyebutkan ekonomi Indonesia bisa terancam di tahun politik. Ekonom senior INDEF lainnya, Didik J. Rachbini, menegaskan, jika politik tidak beres, ekonomi juga akan jatuh.
Pernyataan ini telah terbukti dalam beberapa peristiwa yang terjadi di negara ini. Salah satunya, ketika Pilkada DKI Jakarta beberapa saat lalu. Seiring dengan memanasnya suhu politik, iklim investasi dan dunia usaha ikut terganggu. Laju pertumbuhan ekonomi secara umum melambat.
Cenderung “Wait and See”
Kegiatan investasi menjelang pilpres cenderung wait and see. Dicatat oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), angka realisasi investasi Penanaman Modal Asing (PMA) menurun sekitar 12,9% pada triwulan II -2018. Thomas Lembong, Kepala BKPM, menyebutkan, banyak investor asing yang menunda untuk berinvestasi. Namun, hal tersebut dapat dimaklumi.
Pasalnya, gejolak ekonomi global dan perubahan suhu politik di Indonesia akhir-akhir ini menciptakan suasana ketidakpastian. Tak heran, banyak investor yang memilih bersikap menunggu dan melihat situasi. Faktor utama yang masih membuat investor ragu adalah nilai tukar rupiah yang terus bergejolak.
Meskipun banyak tantangan yang harus dihadapi menjelang Pilpres 2019, Lembong tetap optimis investor tidak akan lari dan tetap menanamkan modal di Indonesia. Syaratnya, Pemerintah dapat meyakinkan bahwa kondisi ekonomi di Indonesia tetap stabil dan nilai tukar rupiah masih aman. Selama hal itu belum ada, para investor pasti akan terus menunggu.
Mengusahakan Sentimen Positif
Darmin Nasution, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, menyatakan optimismenya setelah melihat data pertumbuhan Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) pada semester II-2018. PMTB adalah pengeluaran yang digunakan bukan untuk barang konsumsi, tetapi untuk barang modal, serta memiliki umur pemakaian lebih dari satu tahun. Pengeluaran ini misalnya untuk bangunan tempat tinggal, mesin, dan peralatan.
Terkait dengan itu, ada beberapa langkah yang dapat ditempuh untuk mengusahakan sentimen positif di pasar. Pertama stabilisasi kurs. Pemerintah harus bersikap proaktif untuk menguatkan nilai tukar rupiah. Kedua, menahan aliran modal asing keluar dari pasar modal dalam negeri. Selain itu, para politisi juga diharapkan dapat menghindari permainan politik yang kasar dan merusak sistem.
Harapan untuk Para Capres
Para ekonom menilai bahwa faktor yang mendorong timbulnya sentimen positif untuk berinvestasi bukan hanya pada latar belakang capres dan cawapres. Namun, program-program yang diusung oleh masing-masing pasangan. Kepastian berbisnis untuk para pelaku usaha menjadi salah satu hal yang ditunggu-tunggu.
Bhima Yudhistira, ekonom dari INDEF, juga menyebutkan bahwa pelaku usaha akan terus melakukan aksi wait and see hingga program kampanye sudah jelas dan detail. Untuk itu, langkah praktis yang dapat ditempuh adalah menciptakan jargon-jargon ekonomi yang mudah diingat, bahkan sebelum capres dan cawapres membuat program kerja tetap.
Isi program yang diusung oleh capres dan cawapres sangat penting bagi para investor dan pebisnis. Pasalnya, ada sejumlah tekanan yang terjadi pada akhir 2018. Bukan hanya karena perubahan suhu politik, tetapi juga tekanan global, yaitu kenaikan suku bunga acuan Fed Rate. Kenaikan ini memengaruhi suku bunga kredit Bank Indonesia. Jika bunga kredit naik, para pebisnis tetap akan menahan diri melakukan ekspansi.
Mulai Berinvestasi
balik keriuhan yang terjadi menjelang Pilpres 2019, sejumlah pihak masih menaruh harapan besar terhadap stabilitas ekonomi dalam negeri. Salah satunya melalui gerakan yang diusung oleh GandengTangan.org.
Sebagai wujud kepedulian terhadap kesejahteraan bersama, platform ini mengusahakan pembiayaan bagi para pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) dengan konsep p2p lending. Melalui investasi jangka pendek ini, para pelaku bisnis UMKM diharapkan dapat terus tumbuh dan bertahan di tengah situasi ekonomi yang bergejolak menjelang Pilpres.
Cara menjadi investor di GandengTangan sangat mudah. Bahkan, hanya dengan modal Rp50.000, Anda dapat turut berperan memberikan dampak sosial. Supaya pengembalian pembiayaan berjalan lancar dan terjamin, GandengTangan juga melakukan pendampingan usaha melalui GT-Trust. Jadi, mari berperan aktif menciptakan perubahan dengan mulai berinvestasi.